Tidak Percaya Diri
Lelah, resah,
dan gelisah memang menjadi materi yang paling mudah untuk digodok menjadi
sebuah coretan.
Kalau aku buka
semua lembaran yang pernah aku torehkan, maka warnanya tak pernah jauh dari
hitam, merah atau kelabu. Padahal, aku menyukai hijau yang teduh, atau kuning
yang hangat, atau biru yang semangat. Tapi tinta tulisanku, tak pernah lebih
berwarna dari raibow cake yang di jual di jalan. Apalagi jika dibandingkan es
lima ribu yang sudah tercampur pewarna tekstil : berwarna, menggiurkan.
Hari ini, aku
tenggelam dalam diskusi sekumpulan orang tua yang mencoba mengarahkan anak
kesayangannya. Bukan aku. Aku tak pernah jadi kesayangan di manapun. Di saat
yang sama, aku merasa cemburu, lalu sebagian diriku merasa tesentil, sebagian
lainnya mencoba mempertahankan harga diri yang makin lama makin larut dalam
ketidak berdayaan. Aku ingat bagaimana semangatku dulu, dan aku tak akan pernah
lupa bagaimana tatapan mereka melunturkan kepercayaan yang selama ini aku
bangun dengan telaten. Bagi mereka, akuu payah. Bagi mereka, aku tak bergitu
berharga. Awalnya, aku tak terima, lambat laun aku menjadi pribadi yang malu,
lama kelamaan, aku menerima, mengiyakan keraguan mereka, menjalankan semua
skenario yang mereka cerna lewat sekali tatap. Aku kalah.
sebagian dari
diriku, selalu menyanggah. Persetan dengan apa yang mereka katakan, semua orang
punya caranya masing-masing, punya hidup dan latar belakan yangtak bisa dirubah
atau diremehkan. Harusnya aku tak kalah dengan apa yang mereka pikirkan,
katakan, lakukan. Shit with those people. Tapi perkataan mereka juga tak bisa
kuanggap angin lalu. Aku tak bisa menampik bahwa apa yang mereka katakan
bukanlah kebohongan, apalagi bualan belaka. Hanya saja, aku tak bisa terima
karena mereka tak mencoba bertanya, apalagi memahami.
Aku rindu, aku yang dulu.
Aku saat ini, sedang tak percaya
diri
Sumedang, 2018
Malam sebelum lebaran
Explicit words, a little✌✌✌
BalasHapusehehehehehehe
Hapus