Cinta dalam Segenggam Cahaya #1
#1 Rudy, Dita, dan Perspektif Mereka
“Ta, menurut
lo, hidup itu kayak gimana?” kata Rudy,
disela-sela suapan siomay yang dia pesan untuk kedua kalinya. Rudy ini anaknya
so puitis. Awalnya si, gue ikut terhanyut atas semua bualan dia tentang dunia,
akhirat, agama, dan semua hal yang ada di orbitnya. Tapi lama-lama gue muak.
Sayang, diantara semua orang yang kenal gue, Cuma si Rudy ini yang dengan sabar
dan tabah menghadapi ketamakan gue.
“ya
kaya gini, kaya lo, kaya gue, kaya semua mahkluk yang lagi nafas di seluruh
dunia” kata gue males.
“tumbuhan juga
nafas kalo kaya gitu mah, Ta” matanya Rudy menyipit, keliatan banget kalo gak
puas sama jawabannya. Tapi kan tumbuhan emang hidup Rud.
“nilai
biologi lo berapa? Baru tahu kalo tumbuhan itu mahkluk hidup?”
“But they can’t make their own desiccion. It’s not life that
I try to talk” Rudy bales omongan gue pake mata yang menyala-nyala, seperti
biasa kalo dia sedang mengemukakan pemikirannya atau mempertanyakan arti dari
hidup yang ia jalani, atau dunia yang ia tapaki, atau gue yang sering dia
kerjai.
Gue bingung
si, sama mahkluk sejenis Rudy, why
he always thinking about things that we
don’t have to think . Pembahasan tentang hidup apa yang kita tengah jalani
adalah bahasan paling asik menurut Rudy. Meskipun dia tahu hal-hal kaya gini
itu behubungan erat dengan prinsip dan sudut pandang, tetep aja dia keukeuh
untuk berdiskusi yang selalu diakhiri dengan debat kusir.
“okeh. Jadi
hidup apa yang coba lo omongin?” gue akhirnya nanya.
“hidup yang
beneran hidup. You choose what you want, do
what you love, dan gak ada seorang pun yang ikut campur atas itu” God, kalian tahu sekarang dia lagi
ngapain? Makan es teler setelah makan siomay dua mangkuk dan satu gelas es
jeruk. Heran gue kenapa badannya masih keliatan kurus kering.
“ohh gitu.
Berati lo benda mati dong Rud?” tanya gue
“maksud lo?”
“sekarang lo
sekolah, padahal hampir bosen gue
dengernya kalo lo gak suka sekolah. Terlalu malas dengan segala drama yang
diciptain disini apalagi aturan di negara ini gak sejalan dengan apa yang lo
yakini. It means, you didn’t do what you
love”
“enak ajaa..
gue disini karena gue memilih disini. I
choose what I want!”
“nge les aja
terus bang” gue bangkit dari kursi buat ngasih piring kotor siomay gue sama
Rudy. Tiba tiba tangan gue dia pegang gitu aja.
“gue sekolah,
karena gue tahu kalo nyari ilmu itu wajib, gue tahu orang tua gue bakalan
seneng kalo gue sarjana. Dan gue juga tahu Ta, kalo gue gak sekolah, lo bakal
menyendiri di pojokan kaya nahan ee. Makanya gue memilih untuk pergi sekolah.
Ngerti Ta?” kata Rudy sambil naikin alisnya sebelah, nahan ketawa, aahhh
pokoknya gengeus. Tangannya masih megang tangan gue. Anget.
Uh! Why my face can blushing easily!?
“enak aja lo,
kalo lo gaada, gue bebas ngapain aja” sungut gue gak mau kalah. Gue akhirnya
melaksanakan apa yang telah gue rencanakan : balikin piring abis itu cabut ke
kelas. Rudy ngikutin gue dari belakang.
“emang kalo
gak ada gue, lo bakal ngapain Ta?” Rudy gak nanya itu, dia nyindir.
“suka-suka
gue lah”
Kalo
Rudy gak ada, gue pasti bebas untuk diam di kursi pojok sambil dengerin lagu.
Bebas ngeliatin banyak orang yang lagi hidup dalam dunianya. Bagi gue, ngeliatin
orang sambil dengerin lagu adalah suguhan video clip gratis yang Tuhan ciptain.
Tapi, gue gak kaya Rudy yang so’ so’an menginterpretasikan segalanya. Meraba
raba ekspresi orang buat sekedar kesenangan. Bagi gue, mojok adalah suatu
kebebasan hakiki. Lo bisa mikir tentang apa aja sesuka hati, tanpa interupsi,
tanpa caci dari orang yang dengki. Gue merasa, gue adalah pengamat sejati.
Beda
dengan gue yang memposisikan diri sebagai pengamat, Rudy ini adalah aktor
sekaligus sutradaranya sendiri. Untuk beberapa teman, Rudy ini mahkluk yang
menyebalkan. Dia sering mengkritisi hal
yang dia gak suka, yang dia pikir tidak sejalan dengan seharusnya. Sekali lagi,
yang seharusnya bagi Rudy bukanlah aturan, melainkan nalarnya, buah pikir
tentang manusia dan bagaimana mereka seharusnya hidup. Bagi dia, duduk di
pojokan adalah penjara. Manusia adalah mahkluk sosial, harus mampu untuk
tunjukan apa yang dipikirkan.
Gue sama Rudy
sama-sama manusia pecinta kebebasan. Kalo Rudy memilih bebas dengan mendobrak
aturan. Gue lebih suka bebas tanpa gangguan, makanya, gue selalu melakukan
semuanya sesuai aturan, agar semuanya terkendali, dan gue bebas berekspresi.
Kalo secara kasat mata, gue harusnya gak bisa temenan deket sama Rudy. Tapi ya
gimanaa.. suratan takdir telah bersua.
***
Pulang sekolah, Rudy minta gue
buat ngantar dia ke kedai kopi Mas Iwan untuk ambil kopi pesenan Rudy. Jadi
tuh, Mas Iwan nyeplos aja ke si Rudy kalo temennya ada yang mau ke NTB. Karena
si Rudy ini maniak kopi, langsung aja dia melas untuk minta dipesankan.
Yasudahlah, Mas Iwan juga ga berani nolak karena Rudy itu selain pelanggan
setia, juga anak dari yang punya ruko, terlebih permintaannya juga biasa aja.
Singkat cerita, kopinya udah sampai dengan selamat di Jakarta, dan gue dapet
tugas tambahan untuk nganter si pemesan ini.
Gue dan Rudy turun dari angkot,
bayar onkos trus jalan ke kedai. Ada yang aneh pas gue sama Rudy akan masuk ke
kedai. Ada banyak orang (didominasi anak kecil) yang berkerumun di sekitar
kedai, bahkan duduk-duduk di dalam. Andi (pegawai kedai) sibuk wara-wari keluar
masuk ruang manajer. Rudy langsung nyari Lisa (pegawai yang lain) untuk nanyain
ada apa, karena si Andi kelihatan terlalu sibuk untuk sekedar ditanya ada apa.
Agak lama sampe si Rudy balik lagi ke tempat gue duduk. Kayanya, Lisa gaada di
kedai, soalnya wajah si Rudy masih belum lemes.
“Rud, gak coba telepon Om Edi aja?”
saran gue. Rudy melihat gue sekilas dan langsung ambil handphonenya.
“Halo yah.. lagi dimana?
..............” Rudy menyingkir ke dapur untuk bicara sama ayahnya, gue nunggu
Rudy sambil duduk, dan neliti ke sekeliling. Masih banyak anak-anak yang
bergerombol di depan, sementara yang orang tua udah pada pergi. Gue memutuskan untuk menghampiri salah satu
gerombolan anak kecil itu.
“De, ada apa ya? Ko rame banget
gini?” tanya gue sambil jongkok, mensejajarkan tinggi badan.
“Ada yang ketangkep narkoba katanya
ka. Tadi juga banyak polisi yang dateng” kata salah satu anak.
“Narkoba? Siapa?”
“katanya sih, yang punya kedai ini”
Astaga.
Mas Iwan!?
“Ta” Rudy nepuk bahu gue. Suaranya
bergetar. Gue langsung berbalik, wajah shock Rudy langsung mendominasi objek
pandang gue. Gue langsung usap lengannya, nyoba buat sedikit nenangin. Air mata
Rudy udah menggenang dipelupuk mata, udah siap terjun bebas tanpa pengaman.
“Taa.. Mas Iwan ta..” Rudy nyoba
untuk melafalkan frasa selanjutnya, tapi dia terlalu shock.
“udah, gue udah tau ko Rud”
Rudy langung meluk gue. Badannya
yang lebih besar dibanding gue seketika berubah jadi bayi besar yang minta
perlindungan. Kepalanya nyender kebehu gue. Lengannya melingkari badan gue
erat. Gue mengusap punggungnya perlahan. Gue tahu, sesuatu pasti akan sedikit
berantakan setelah ini. Mas Iwan adalah salah satu role model hidup Rudy, dan hari ini, dia kehilangan salah satu
panutannya.
Komentar
Posting Komentar